KONSTITUSI DAN KONSTITUSIONALISME

Gambar simbol keadilan dan konstitusi, merepresentasikan prinsip hukum dan pembatasan kekuasaan.

KONSTITUSI

Konstitusi menurut Jimly Asshiddiqie (Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, 2006 : 200) adalah hukum dasar, norma dasar, dan sekaligus paling tinggi kedudukanya dalam system bernegara. Ada tiga unsure yang terdapat dalam tubuh konstitusi, yaitu (Novendri M. Nggilu, Hukum dan Teori Konstitusi, 2015 : 20) : 

  1. Konstitusi dipandang sebagai perwujudan perjanjian masyarakat (kontrak social), menurut pengertian ini, konstitusi-konstitusi yang ada adalah hasil atau konklusi dari persepakatan masyarakat untuk membina negara dan pemerintah yang akan mengatur mereka. 
  2. Konstitusi sebagai piagam yang menjamin hak-hak asasi manusia berarti perlindungan dan jaminan atas hak hak asasi manusia dan warga negara. 
  3. Sebagai forma regimenis, berarti sebagai kerangka bangunan pemerintahan, dengan kata lain sebagai gambaran struktur pemerintahan negara.

KONSTITUSIONALISME 

Konstitusionalisme Menurut Carl J Friedrich (Laica Marzuki, Konstitusi dan Konstitusionalisme, 2010 : 4)mengandung gagasan bahwa pemerintahan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwasanya kekuasaan yang diselenggarakan tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Moh. Mahfud MD (Syafnil Effendi, Konstitusionalisme dan Konstitusi ditinjau dari Perspektif Sejarah, 2011 : 77) menyatakan bahwa konstitusionalisme merupakan salah satu gagasan atau pemikiran politik ketatanegaraan tentang bagaimana cara membatasi kekuasaan pemerintah melalui pembuatan konstitusi, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sedangkan Laica Marjuki (Laica Marzuki, Konstitusionalisme dan Hak Asasi Manusia, 2011 : 484) menjelaskan bahwa esensi konstitusionalisme yaitu menggagas pembatasan kekuasaan negara, sehingga perilaku penguasa tidak sewenang wenang terhadap rakyatnya. 

Abdulkadir menjelaskan bahwa konstitualisme memiliki dua makna yakni konstitusionalisme dalam arti statik dan konstitusionalisme dalam arti dinamik. Konstitusionalisme dalam arti statik memilki makan bahwa konstitusi itu bersifat normative tetapi mempunyai kualifikasi sebagai konsep dalam keadaan diam yang diinginkan untuk diwujudkan. Sehingga mempunyai ungkapan konsitusi itu merupakan kontrak social yang didasari oleh ex ante pactum (perjanjian yang sudah ada sebelumnya). Kemudian mengenai konstitusionalisme dalam arti dinamik, didalam rumusannya bersifat partikal, maksudnya yaitu memberikan pentunjuk terkait adanya interaksi antar komponen, jadi tidak sekedar rumusan yang bersifat yuridik saja (Muhtar Said, Genealogi Konstitusionalisme Muhammad Yamin dan Mohammad Fajrul Falaakh : 636).

Secara etimologis antara kata “konstitusi”, dan “konstitusionalisme” memiliki makna yang sama, namun penggunaan atau penerapan dari konstitusi dan konstitusionalisme memiliki perbedaan. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan dari suatu negara baik baik berupa ketentuan tertulis seperti Undang-Undang Dasar maupun ketentuan yang tidak tertulis, sedangkan konstitusionalisme merupakan paham mengenai pembatasan-pembatasan kekuasaan oleh lembaga-lembaga negara dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi. Adapun ruang lingkup paham konstitusi yaitu anatomi kekuasaan tunduk pada hukum, jaminan perlindungan hak asasi manusia, peradilan yang bebas dan mandiri, dan pertanggungjawaban kepada rakyat (Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, 2017 : 1)

Perbedaan konstitusi dan konstitusioalisme didalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yakni : Konstitusi didalam putusan mahkamah konstitusi tersebut merupakan Undang Undang Dasar yang dijadikan sebagai dasar oleh para pemohon dalam pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sedangkan konstitusionalisme sebagai paham yang membatasi kekuasaan pemerintah dalam putusan tersebut dapat dilihat dari dalil pemohon yang pada intinya menjelaskan bahwa lembaga yang berwenang membentuk undang-undang telah melampaui batas kewenanganya didalam pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, karena didalam pembentukan undang undang tersebut dilakukan metode baru didalam penyusunan peraturan perundang undangan yang tidak diatur sebagaimana mestinya. 

Adapun penjelasan lebih lanjut terkait konstitusi dan konstitusioalisme dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 akan dijelaskan sebagai berikut : 

Konstitusi (Undang Undang Dasar 1945) sebagai dasar pengujian dari Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

Pengujian formil terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, menurut pemohon dapat digunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagai tolak ukur dalam pengujian formil. Adapun alasan dari pemohon yaitu : 

“Sepanjang peraturan perundang -undangan yang mengatur mekanisme atau formil-prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil”. 

Delegasi yang dimaksud yaitu delegasi peraturan (delegated legislation), yang mengandung pengertian bahwa bentuk peraturan perundang undangan yang memungkinkan ketentuan dalam peraturan perundang undangan dapat memberikan kekuasaan membuat peraturan perundang undangan yang lebih rinci (Fathorrahman, Peraturan Delegasi dalam Sistem Peraturan Perundang Undangan Indonesia, 2018 : 194). Pemberian delegasi oleh konstitusi terhadap undang undang tentang tata cara pembentukan undang undang dapat dilihat didalam Undang Undang Dasar 1945 yang menjelaskan bahwa “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang undang” 

Namun oleh mahkamah konstitusi, tolak ukur pengujian Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tetap berdasarkan Undang Undang Dasar 1945, hal ini dapat dilihat dari pertimbangan mahkamah, yakni : 

“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, oleh karena terhadap tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil.”

Konstitusionalisme dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. 

Sistem hukum Indonesia yang lebih menguatamakan sumber hukum tertulis berupa undang-undang, sudah seharusnya diikuti oleh baiknya kualitas undang-undang tersebut. Untuk memiliki kualitas undang-undang yang baik, pembuat undang-undang (legislator) harus mengacu pada prinsip konstitusionalisme dalam setiap tahapan proses pembuatanya undang-undang (Fakhris Lutfianto Hapsoro dan Ismail, Prinsip Konstitusionalisme dalam Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang, : 71).

Pembatasan kekuasaan menurut sendi konstitusionalisme dilakukan dalam menciptakan Undang-Undang Dasar (konstitusi tertulis) (Gokma Toni Parlindungan, Prinsip-prinsip Negara Hukum dan Demokrasi dalam Pembentukan Peraturan Daerah, 2017 : 391). Adapun konstitusionalisme dalam pembuatan peraturan perundang undangan dapat diartikan bahwa pembuat undang undang dalam membuat suatu peraturan perundang undangan harus tunduk terhadap batasan-batasan yang diatur didalam konstitusi. Dalam konstitusi diamanatkan bahwa tata cara pembuatan peraturan perundang undangan diatur lebih lanjut dengan undang undang, dalam hal ini adalha Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagai delegasi dari Undang Undang Dasar 1945. 

Sedangkan didalam pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tidak sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Ketidaksesuaian ini terdapat pada metode omnibus law yang dilakukan oleh pemerintah dalam membentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, yang dimana metode tersebut tidak diatur didalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Mahkamah konstitusi sendiri berpendapat bahwa jika pemerintah ingin menerapkan metode omnibus law didalam pembuatan suatu peraturan perundang undangan, maka pembuat undang undang harus memasukan metode tersebut didalam undang undang tentang pembentuakn peraturan perundang undangan.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال