Perbedaan Perjanjian Tertulis dan Lisan: Mana yang Lebih Kuat di Mata Hukum?

Ilustrasi perjanjian tertulis dengan pena dan kertas, serta perjanjian lisan yang digambarkan dengan dua orang berjabat tangan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering membuat perjanjian, baik secara tertulis maupun lisan. Namun, mana yang lebih kuat di mata hukum? Artikel ini akan membahas secara mendalam perbedaan antara perjanjian tertulis dan lisan, serta kekuatan hukum keduanya.

Pengertian Perjanjian 

Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian adalah "suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih." Dalam konteks ini, perjanjian bisa dibuat secara tertulis maupun lisan, selama memenuhi syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Perbedaan Perjanjian Tertulis dan Lisan

  1. Bentuk dan Bukti

    • Perjanjian Tertulis: Dibuat dalam dokumen resmi yang ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersepakat. Dokumen ini dapat berbentuk akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat berwenang, seperti notaris, atau berupa akta di bawah tangan yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat resmi. Perjanjian tertulis menjadi alat bukti yang kuat di pengadilan karena memiliki bukti fisik yang konkret dan bisa digunakan untuk membuktikan adanya kesepakatan serta isi dari perjanjian tersebut.
    • Perjanjian Lisan: Hanya mengandalkan ucapan dan kesepakatan secara verbal antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam proses pembuktian di pengadilan, perjanjian lisan lebih sulit dibuktikan karena tidak ada dokumen fisik yang mendukung klaim para pihak. Pembuktian biasanya mengandalkan kesaksian dari orang yang mendengar langsung kesepakatan tersebut atau adanya bukti tidak langsung, seperti rekaman suara, pesan elektronik, atau tindakan yang menunjukkan pelaksanaan perjanjian.
  2. Kekuatan Hukum

    • Perjanjian Tertulis: Dianggap lebih kuat karena adanya dokumen fisik yang memuat hak dan kewajiban para pihak. Dokumen tertulis menjadi bukti konkret yang dapat digunakan di pengadilan jika terjadi perselisihan. Selain itu, beberapa jenis perjanjian secara hukum diwajibkan untuk dibuat secara tertulis, seperti perjanjian jual beli tanah, perjanjian kredit dengan bank, atau akta notaris. Dengan adanya dokumen tertulis, risiko kesalahpahaman atau perselisihan mengenai isi perjanjian dapat diminimalisir karena seluruh ketentuan sudah tertulis secara jelas.
    • Perjanjian Lisan: Tetap sah dan mengikat secara hukum jika memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat perjanjian, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal. Namun, kekuatan hukum perjanjian lisan lebih lemah dibandingkan perjanjian tertulis karena tidak memiliki alat bukti konkret berupa dokumen fisik. Dalam perselisihan, pihak yang merasa dirugikan harus membuktikan keberadaan dan isi perjanjian melalui saksi atau bukti tidak langsung, yang prosesnya cenderung lebih rumit dan rentan diperdebatkan.
  3. Keamanan dan Kepastian

    • Perjanjian Tertulis: Memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi karena seluruh hak dan kewajiban dituangkan secara jelas dalam dokumen tertulis. Hal ini mengurangi risiko sengketa karena jika terjadi perselisihan, pihak yang merasa dirugikan dapat langsung merujuk pada isi perjanjian yang tertulis sebagai bukti yang sah di mata hukum. Selain itu, perjanjian tertulis membantu melindungi kepentingan para pihak dari kemungkinan ingkar janji, perubahan kesepakatan sepihak, atau penafsiran yang berbeda mengenai isi perjanjian.
    • Perjanjian Lisan: Kurang memberikan kepastian karena tidak adanya bukti konkret selain dari kesaksian pihak yang terlibat atau bukti tidak langsung lainnya. Dalam praktiknya, perjanjian lisan lebih rentan terhadap kesalahpahaman, perbedaan interpretasi, serta potensi manipulasi atau pengingkaran janji. Risiko terjadinya sengketa pun lebih besar karena tidak ada dokumen resmi yang bisa dijadikan pegangan jika terjadi perselisihan.

Mana yang Lebih Kuat?

Secara umum, perjanjian tertulis memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat karena adanya bukti fisik yang jelas dan terperinci mengenai hak serta kewajiban para pihak yang terlibat. Dokumen tertulis memuat secara eksplisit isi perjanjian, seperti objek perjanjian, jangka waktu, dan sanksi jika terjadi pelanggaran. Jika timbul perselisihan, dokumen ini bisa langsung diajukan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan, memudahkan hakim dalam menilai keabsahan dan keberlakuan perjanjian tersebut.

Sebaliknya, perjanjian lisan juga diakui sah dan mengikat secara hukum sepanjang memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

  1. Kesepakatan Para Pihak: Adanya persetujuan bebas dari pihak-pihak yang terlibat.
  2. Kecakapan: Para pihak harus memiliki kapasitas hukum untuk membuat perjanjian.
  3. Suatu Hal Tertentu: Perjanjian harus memiliki objek yang jelas.
  4. Sebab yang Halal: Tujuan perjanjian harus sah dan tidak bertentangan dengan hukum.

Namun, kekuatan hukum perjanjian lisan lebih rentan diperdebatkan karena sulit dibuktikan di pengadilan. Jika salah satu pihak membantah adanya perjanjian atau isi kesepakatan, pihak yang dirugikan harus menghadirkan bukti pendukung lain, seperti:

  • Kesaksian dari pihak yang hadir saat perjanjian dibuat.
  • Bukti tidak langsung seperti rekaman suara, pesan teks, atau email yang menunjukkan adanya hubungan hukum antara para pihak.

Selain itu, dalam beberapa kasus, hukum secara tegas mengharuskan perjanjian dibuat secara tertulis untuk memiliki kekuatan hukum. Contohnya, perjanjian jual beli tanah atau perjanjian kredit dengan bank wajib dituangkan dalam dokumen tertulis agar dianggap sah.

Contoh Kasus

Seorang pemilik rumah menyewakan rumahnya kepada penyewa dengan perjanjian lisan. Ketika penyewa tidak membayar sewa, pemilik rumah sulit membuktikan adanya perjanjian karena tidak ada dokumen tertulis yang mendukung klaimnya. Sebaliknya, jika perjanjian dibuat secara tertulis, pemilik rumah bisa langsung menunjukkan bukti tertulis di pengadilan.

Kesimpulan

Baik perjanjian tertulis maupun lisan memiliki kekuatan hukum, tetapi perjanjian tertulis lebih disarankan karena memberikan kepastian dan bukti yang lebih kuat di mata hukum. Dalam situasi yang melibatkan nilai transaksi besar atau hubungan jangka panjang, perjanjian tertulis adalah pilihan yang lebih aman. 

Dengan memahami perbedaan ini, Anda bisa membuat keputusan yang lebih bijak dalam membuat perjanjian, baik secara tertulis maupun lisan. Jika Anda membutuhkan bantuan dalam membuat perjanjian yang sah secara hukum, konsultasikan dengan ahli hukum terpercaya.

أحدث أقدم

نموذج الاتصال