
Masalah Kesehatan Mental pada Anak dan Remaja di Indonesia
Sejumlah data menunjukkan bahwa satu dari tiga anak usia 10-17 tahun di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Psikolog klinis menyebut hal ini sebagai alarm serius yang menunjukkan bahwa banyak anak Indonesia tidak dalam kondisi baik-baik saja. Data tersebut berasal dari Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang dilakukan pada 2022. Prediksi terkini mengungkapkan bahwa jumlah anak dengan masalah kesehatan mental bisa meningkat hingga 2025, berdasarkan peningkatan kunjungan ke biro psikologi sebesar 20-30 persen.
Meski kesadaran orang tua dan lingkungan semakin meningkat, gejala awal pada anak sering kali disalahartikan sebagai "nakal," "malas," atau "manja." Namun, sebenarnya ini bisa menjadi tanda adanya masalah kesehatan mental. Psikolog dan pendidik, Najelaa Shihab, menjelaskan bahwa faktor-faktor seperti pengasuhan di rumah, pembelajaran guru di sekolah, interaksi dengan teman sebaya, serta pengalaman dan kecenderungan individual anak dan remaja dapat memengaruhi kesehatan mental mereka.
"Sinkronisasi antara orang tua dan sekolah sangat penting untuk menjaga kesehatan mental anak dan remaja. Jika tidak ada rencana aksi bersama, masalah di satu konteks bisa tereskalasi di konteks lain," ujar Najelaa.
Masalah kesehatan mental bukan hanya dialami oleh anak-anak Indonesia. Negara-negara seperti Korea Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat juga menghadapi tantangan serupa. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa satu dari tujuh anak usia 10-19 tahun mengalami gangguan kesehatan mental. Anak dan remaja dengan kondisi ini rentan terhadap pengucilan sosial, diskriminasi, stigma, yang bisa berdampak pada kesulitan pendidikan, perilaku berisiko, kesehatan fisik, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Pengalaman Ade: Dari Bullying Hingga Diagnosa Bipolar
Ade (13 tahun), yang baru saja meraih medali perunggu dalam Pekan Paralimpik Pelajar Kota Bandung 2025, pernah mendapat cap pembuat onar karena emosinya yang sulit dikendalikan. Stigma ini muncul setelah dia membela diri dari perundungan yang dialaminya. Ketika ditarik jilbabnya sampai robek dan dicubit, Ade justru disalahkan. Ibu Ade, Nurlinda Lamadi, mengatakan bahwa Ade tidak dipercaya meskipun dia yang menjadi korban bullying.
Ketidakstabilan emosi Ade membuat teman-temannya menjauhinya. Perilaku ini berpengaruh pada kemampuan belajarnya, sehingga ia mulai berani melawan guru, kepala sekolah, dan satpam. Setelah lulus SD, Nurlinda memutuskan untuk memeriksakan Ade ke rumah sakit jiwa karena kondisi emosinya tidak terkontrol. Ade didiagnosis ADHD, namun ledakan emosi yang kerap terjadi saat senang dan marah membawanya pada diagnosis bipolar. Selain itu, Ade juga mengalami disabilitas mental ringan.
Dengan kondisi ini, Ade rutin diawasi karena sering kabur dan mengalami halusinasi. Salah satu kejadian pahit adalah ketika Ade menjadi korban pelecehan oleh pedagang yang memintanya membuka celananya. Setelah beberapa tahun mencari akar masalah, Nurlinda akhirnya bisa memberikan penanganan yang tepat, termasuk konsultasi ke psikiater sebulan sekali menggunakan layanan BPJS Kesehatan dan terapi obat.
Kini, Ade bersekolah di SLB di Kota Bandung dan menunjukkan perkembangan yang signifikan. Ia tidak lagi stres dalam belajar dan bisa bersosialisasi dengan teman-temannya. Prestasi Ade dalam Pekan Paralimpik Pelajar Kota Bandung 2025 membuktikan bahwa anak dengan kondisi kesehatan mental bisa memiliki kelebihan dan sukses.
Pengalaman Mima: Dari Gejala Fisik Hingga Diagnosis Bipolar
Mima (22 tahun) mengakui bahwa gejala awalnya dirasakan saat masih kecil. Lingkungan yang tidak nyaman di sekolah menjadi salah satu pemicu serangan panik yang dialaminya. Gejala fisik lebih dominan dirasakan ketika Mima berusia 11-12 tahun, seperti sakit perut dan sesak napas. Awalnya, keluarga membawanya ke UGD, tetapi hasil pemeriksaan tidak menemukan penyebab yang jelas.
Setelah SMP, Mima akhirnya dibawa ke psikolog dan didiagnosis depresi. Setahun kemudian, kondisinya mulai stabil. Namun, gejala gangguan kecemasan dan depresi muncul lagi ketika Mima masuk SMA. Akibatnya, Mima pernah melakukan percobaan bunuh diri dan harus dirawat di rumah sakit selama hampir seminggu. Hasil diagnosis akhirnya menunjukkan bahwa Mima mengalami bipolar dan borderline personality disorder.
Meski demikian, Mima tetap menjaga kesehatan mentalnya dengan melakukan berbagai kegiatan seperti menjaga asupan makanan, olahraga, dan memilih lingkungan yang positif. Ia juga aktif melakukan advokasi di bidang kesehatan mental dan sedang menyelesaikan skripsinya di bidang psikologi.
Deteksi Gejala Awal dan Penyebab Kesehatan Mental
Pemilik Rumah Pengembangan Diri dan Stimulasi Anak Kemuning Kembar, Anggiastri Utami, menjelaskan bahwa gangguan kesehatan mental berproses. Pada usia 7-10 tahun, gejala awal bisa mulai terdeteksi. Ketika anak mengalami kekecewaan, kecemasan, atau rasa tidak aman, dampaknya bisa berkembang menjadi depresi atau gangguan kecemasan jika tidak segera ditangani.
Gejala awal yang bisa diperhatikan antara lain perubahan suasana hati, menarik diri, dan gangguan belajar. Orang tua juga perlu memahami kepribadian anak. Anak yang tidak percaya diri cenderung menyimpan emosi dan rentan menjadi korban kekerasan. Toleransi stres yang rendah juga bisa memicu depresi atau keinginan bunuh diri.
Menurut Dian Sudiono Putri, Sekretaris Ikatan Psikologi Klinis Himpunan Psikologi Indonesia, pengalaman buruk di sekolah seperti perundungan menjadi salah satu pemicu gangguan kesehatan mental. Pola asuh di rumah, lingkungan sekolah, kecanduan gawai, trauma, dan faktor kesehatan mental lainnya juga bisa memicu gangguan.
Solusi dan Upaya Bersama
Keluarga disebut sebagai benteng utama dalam menjaga kesehatan mental anak. Orang tua perlu belajar untuk mendengar cerita anak secara obyektif dan membangun hubungan dua arah. Resiliensi anak juga perlu dibangun dengan menerapkan teori sebab-akibat dan mengajarkan tanggung jawab.
Sekolah dan rumah harus bekerja sama dalam mengaktivasi proses yang sesuai dengan aspek perkembangan anak. Pendidik, baik orang tua maupun guru, perlu menjadi "pendidik yang penumbuh, bukan penghambat." Kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan layanan kesehatan diperlukan untuk menciptakan sistem yang berpihak kepada anak.
Di tingkat pemerintah, Kementerian Kesehatan telah mengambil langkah promtif dengan mendorong pengasuhan positif dan pelatihan pengasuhan positif di 341 kabupaten/kota. Layanan pertolongan pertama pada luka psikologis juga tersedia, serta skrining kesehatan jiwa di puskesmas. Selain itu, program-program seperti Satuan Pendidikan Ramah Anak (SRA) dan Forum Anak juga digelar untuk memberikan dukungan dan perlindungan bagi anak-anak.
Kesimpulan
Anak dan remaja Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga kesehatan mental. Dari gejala fisik hingga diagnosis akhir, banyak anak mengalami kesulitan yang perlu segera ditangani. Orang tua, sekolah, dan pemerintah perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung. Dengan pendekatan yang tepat dan kolaborasi yang kuat, anak-anak bisa tumbuh menjadi individu yang tangguh dan sukses.