Pemilihan Umum (Pemilu) serentak di Indonesia tidak bisa dipahami semata-mata sebagai inovasi teknis dalam tata cara pemungutan suara, melainkan merupakan manuver besar dalam rekayasa kelembagaan politik dan ketatanegaraan. Isu pemilu serentak menjadi medan tarik-menarik antara kepentingan politik praktis dan prinsip-prinsip dasar konstitusionalisme demokratis.
Lahir dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, wacana pemilu serentak mengusung cita-cita besar: memperkuat sistem presidensial agar lebih stabil, mengurangi biaya politik yang boros dan berulang, serta mendorong kohesi dalam proses pemilihan pejabat publik. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini menghadirkan realitas baru yang kompleks—baik dalam aspek hukum, tata kelola pemerintahan, maupun partisipasi politik masyarakat.
Pemilu serentak di satu sisi dianggap sebagai langkah progresif untuk menyinkronkan legitimasi antara lembaga legislatif dan eksekutif. Di sisi lain, ia juga melahirkan problem struktural: beban administratif yang luar biasa bagi penyelenggara, potensi delegitimasi karena kebingungan pemilih, hingga tantangan dalam menjamin keadilan pemilu yang berkualitas.
Dalam konteks inilah, penting untuk mengulas lebih dalam dinamika politik hukum pemilu serentak, tidak hanya dari sisi legal formal, tetapi juga dari kaca mata relasi kuasa, kepentingan elit politik, serta sejauh mana desain sistem pemilu mencerminkan kehendak konstitusi. Tulisan ini bertujuan untuk menyigi fondasi yuridis dan politik dari pemilu serentak, mengevaluasi dampaknya terhadap demokrasi elektoral, serta mengidentifikasi jalan tengah antara efektivitas dan prinsip-prinsip demokrasi substantif.
Politik Hukum di Balik Pemilu Serentak
Politik hukum pemilu serentak pada hakikatnya mencerminkan bahwa hukum pemilu bukanlah domain yang steril dari kepentingan, melainkan ruang kontestasi antara idealisme demokrasi konstitusional dan realitas pragmatis kekuasaan. Hukum dalam konteks ini tidak sekadar berfungsi sebagai norma tertulis yang mengatur prosedur, tetapi juga sebagai alat pembentuk konfigurasi politik yang diinginkan oleh aktor dominan di panggung kekuasaan.
Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2013 menjadi pintu masuk legal atas ide pemilu serentak. Namun, dalam praktik politik, pelaksanaan putusan ini kemudian dibentuk, disesuaikan, bahkan ditafsirkan ulang oleh legislatif dan pemerintah melalui pengundangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Di sinilah terlihat bagaimana politik hukum bekerja—hukum tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan disusun dalam kerangka kompromi antara kepentingan partai politik, kekuatan elektoral, serta strategi mempertahankan dominasi.
Desain pemilu serentak yang menggabungkan pemilu legislatif dan pemilu presiden dalam satu hari yang sama tentu menyisakan persoalan serius. Di balik argumen efisiensi dan penguatan sistem presidensial, tersembunyi juga niatan menyederhanakan koalisi kekuasaan, menguatkan efek ekor jas (coattail effect), dan menekan fragmentasi politik yang mengganggu stabilitas. Ini menjadi bukti bahwa hukum pemilu bukan hanya instrumen normatif, tetapi juga alat rekayasa kekuasaan.
Penggabungan tahapan kampanye, pemungutan suara, hingga rekapitulasi suara dalam satu kesatuan sistem, juga menunjukkan adanya kompromi antara idealisme desain tata negara dengan tekanan administratif dan logistik. Di balik narasi besar tentang efisiensi, terdapat pula kepentingan untuk mengontrol alur informasi politik publik secara simultan—dimana pemilih didorong untuk mengambil keputusan politik kompleks dalam waktu singkat.
Dengan demikian, politik hukum pemilu serentak tidak bisa dilepaskan dari tensi antara hukum dan politik, antara ideal dan taktis, antara keadilan pemilu dan stabilitas kekuasaan. Ia adalah cermin dari bagaimana konstitusi, putusan yudisial, dan produk legislasi berinteraksi dalam arena politik yang dinamis dan kadang penuh kalkulasi elektoral.
Tantangan Implementasi
Meski secara konseptual pemilu serentak digadang-gadang sebagai solusi penguatan sistem presidensial dan efisiensi elektoral, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa implementasinya tidak semulus yang dibayangkan. Berbagai tantangan muncul, baik dari aspek teknis, manajerial, hingga sosial-politik. Berikut beberapa tantangan utama yang menjadi perhatian serius:
1. Beban Kerja Penyelenggara Pemilu yang Luar Biasa Berat
Pemilu serentak menyebabkan lonjakan beban administratif dan teknis bagi penyelenggara di semua tingkatan, terutama Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di lapangan. Mereka harus mengelola lima kotak suara dengan surat suara berbeda secara bersamaan—presiden, DPR RI, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Ini tidak hanya menyulitkan proses penghitungan suara, tetapi juga berisiko terhadap keselamatan dan kesehatan penyelenggara.
Fakta tragis pada Pemilu 2019 menjadi catatan kelam: ratusan petugas KPPS dilaporkan meninggal dunia karena kelelahan dan tekanan kerja. Ini menunjukkan bahwa efisiensi politik bisa menimbulkan kerugian sumber daya manusia yang nyata, apabila tidak ditopang dengan desain kelembagaan yang memadai.
2. Tingkat Partisipasi Pemilih yang Fluktuatif
Pemilu serentak justru menimbulkan tantangan dalam memobilisasi partisipasi publik. Kompleksitas pilihan dan banyaknya kandidat yang harus dipertimbangkan dalam satu waktu dapat menimbulkan kelelahan kognitif (cognitive fatigue) di kalangan pemilih. Akibatnya, banyak yang bersikap apatis atau asal memilih.
Kondisi ini diperparah oleh rendahnya tingkat literasi politik di beberapa daerah, yang membuat pemilih sulit membedakan kualitas dan posisi kewenangan para kandidat. Pemilu serentak, alih-alih mendorong rasionalitas politik, malah bisa menciptakan “vote overload” yang menurunkan kualitas partisipasi demokratis.
3. Kesulitan dalam Pendidikan Politik
Pendidikan politik masyarakat menjadi sangat menantang karena banyaknya materi pemilu yang harus disampaikan dalam waktu singkat. Masyarakat tidak hanya harus memahami visi-misi presiden, tetapi juga platform politik partai, rekam jejak caleg DPR dan DPRD, hingga tugas dan fungsi DPD.
Kondisi ini menyulitkan lembaga pendidikan politik—baik KPU, partai politik, maupun organisasi masyarakat sipil—untuk menyampaikan informasi yang komprehensif. Akibatnya, publik rentan terjebak dalam politik identitas atau kampanye populis yang dangkal, karena tidak memiliki waktu dan sumber daya untuk menelaah kualitas setiap kandidat secara kritis.
Secara keseluruhan, tantangan implementasi ini menegaskan bahwa pemilu serentak bukan sekadar persoalan merge waktu dan logistik, tetapi persoalan struktural yang memerlukan redesain sistemik agar cita-cita demokrasi elektoral tetap terjaga tanpa mengorbankan kualitas, partisipasi, dan keselamatan publik.
Arah Perbaikan Sistem Pemilu
Seiring berjalannya waktu dan berulangnya pengalaman elektoral, wacana reformasi terhadap sistem pemilu serentak mulai mengemuka di kalangan ahli hukum tata negara, akademisi, dan pegiat demokrasi. Mereka menilai bahwa desain pemilu serentak sebagaimana dipraktikkan saat ini sarat dengan masalah struktural yang justru melemahkan kualitas demokrasi elektoral. Oleh karena itu, beberapa usulan perbaikan mulai dipertimbangkan secara serius.
1. Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah
Salah satu gagasan yang banyak mendapat dukungan adalah pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah. Dalam skema ini, pemilu nasional yang meliputi pemilihan Presiden, DPR RI, dan DPD RI akan digelar terlebih dahulu, sementara pemilu daerah seperti DPRD provinsi/kabupaten/kota dan kepala daerah dilakukan di waktu yang berbeda.
Pendekatan ini dinilai lebih realistis dari sisi beban kerja penyelenggara dan efektivitas pendidikan politik. Dengan memisahkan level pemilu, pemilih bisa lebih fokus memahami isu dan kandidat sesuai lingkup kewenangan masing-masing. Selain itu, waktu kampanye menjadi lebih terarah dan tidak tumpang tindih.
2. Evaluasi Terhadap Putusan MK dan Legislasi Turunannya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 memang menjadi dasar hukum atas pemilu serentak. Namun, pelaksanaannya melalui UU No. 7 Tahun 2017 perlu dikaji ulang agar tidak menimbulkan beban berlebihan terhadap sistem pemilu dan penyelenggaranya.
Para pakar menyarankan agar Mahkamah Konstitusi, dalam putusan-putusan berikutnya, tidak hanya memperhatikan aspek logical reasoning dari konsistensi sistem presidensial, tetapi juga mempertimbangkan pragmatic feasibility dalam penerapan teknisnya di lapangan. Di sisi lain, pembentuk undang-undang perlu merumuskan desain pemilu yang memadukan kehendak konstitusional dan kapasitas implementatif.
3. Digitalisasi dan Modernisasi Pemilu
Dalam konteks jangka panjang, perbaikan sistem pemilu juga harus menyentuh aspek teknologi dan digitalisasi. Penggunaan sistem informasi yang lebih mutakhir untuk manajemen data pemilih, transparansi hasil, serta efisiensi penghitungan suara dapat menjadi solusi pendukung bagi pemilu yang padat dan kompleks.
Namun, digitalisasi harus dibarengi dengan perlindungan data pribadi, keamanan siber, serta akuntabilitas sistem agar tidak menimbulkan distrust di kalangan publik.
4. Meningkatkan Pendidikan Politik yang Berkelanjutan
Tak kalah penting, reformasi pemilu harus diiringi dengan investasi jangka panjang dalam pendidikan politik yang berkelanjutan, bukan hanya menjelang pemilu. Masyarakat perlu dibekali pemahaman tentang fungsi lembaga, tugas wakil rakyat, serta pentingnya suara mereka dalam sistem demokrasi. Dengan begitu, partisipasi bukan hanya bersifat kuantitatif, tetapi juga berbasis kesadaran dan kualitas.
Secara keseluruhan, arah perbaikan sistem pemilu di Indonesia harus mengambil jalan tengah antara idealisme sistem pemerintahan dan kenyataan politik serta kapasitas institusional. Pemilu tidak boleh hanya menjadi alat legalistik untuk memperoleh kekuasaan, tetapi harus menjadi wahana demokratis yang menjamin partisipasi bermakna, representasi adil, dan tata kelola negara yang akuntabel.
Baca juga Muhammad Yamin dan Kontribusinya