Kasus penembakan tiga anggota polisi oleh oknum TNI di Lampung telah menyoroti kembali isu penegakan hukum terhadap anggota militer yang terlibat dalam tindak pidana. Peristiwa tragis ini tidak hanya mengejutkan masyarakat, tetapi juga menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai proses hukum yang berlaku bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana, serta transparansi dan akuntabilitas sistem peradilan militer di Indonesia.
Kerangka Hukum yang Berlaku
Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), prajurit TNI tunduk pada dua jenis peradilan, yaitu peradilan militer dan peradilan umum. Pasal 65 ayat (2) UU TNI secara tegas menyatakan bahwa prajurit TNI tunduk pada peradilan militer untuk pelanggaran hukum pidana militer dan peradilan umum untuk pelanggaran hukum pidana umum. Namun, dalam praktiknya, anggota TNI yang melakukan tindak pidana cenderung diadili di peradilan militer, termasuk dalam kasus pembunuhan seperti yang terjadi di Lampung.
Dalam kasus ini, penembakan yang mengakibatkan kematian tiga anggota polisi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pembunuhan atau pembunuhan berencana, sebagaimana diatur dalam Pasal 338 dan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jika terbukti bahwa oknum TNI tersebut terlibat dalam aktivitas perjudian, maka ia juga dapat dijerat dengan Pasal 303 KUHP tentang perjudian ilegal.
Proses Penyidikan dan Penuntutan
Proses penyidikan terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana dilakukan oleh Polisi Militer. Polisi Militer bertugas untuk melakukan penyelidikan awal, mengumpulkan bukti, dan memeriksa saksi. Setelah proses penyidikan selesai, berkas perkara diserahkan kepada Oditurat Militer untuk proses penuntutan.
Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang mengatur kewenangan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara pidana yang melibatkan anggota TNI. UU Peradilan Militer menegaskan bahwa Penyidik Militer berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI.
Dalam konteks kasus ini, Polisi Militer memiliki kewenangan penuh untuk memproses kasus tersebut, mulai dari penyidikan hingga penyerahan berkas perkara kepada Oditurat Militer. Namun, ada beberapa tantangan yang sering muncul dalam proses ini, seperti keterbatasan akses bagi pihak luar untuk mengawasi proses penyidikan, serta potensi konflik kepentingan karena adanya hubungan hierarkis di lingkungan militer.
Peradilan Militer: Antara Transparansi dan Akuntabilitas
Peradilan militer memiliki struktur yang berbeda dengan peradilan umum. Di peradilan militer, hakim, jaksa, dan penyidik berasal dari lingkungan militer, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai objektivitas dan independensi proses hukum. Selain itu, proses persidangan di peradilan militer sering kali tidak mendapatkan liputan media yang memadai, sehingga sulit bagi publik untuk memantau jalannya persidangan.
Kasus penembakan di Lampung menjadi pengingat akan pentingnya reformasi peradilan militer untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan transparan dan akuntabel. Salah satu solusi yang sering diusulkan adalah melibatkan peradilan umum dalam menangani kasus-kasus pidana berat yang dilakukan oleh anggota TNI, seperti pembunuhan, penyiksaan, atau pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
Sanksi dan Hukuman
Jika terbukti bersalah, oknum TNI yang melakukan penembakan terhadap tiga anggota polisi di Lampung dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam kasus pembunuhan berencana, pelaku dapat dijatuhi hukuman maksimal berupa pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama waktu tertentu sesuai dengan Pasal 340 KUHP. Sementara itu, Pasal 338 KUHP mengatur pidana penjara maksimal 15 tahun untuk kasus pembunuhan biasa.
Selain sanksi pidana, pelaku juga dapat dikenai sanksi administratif berupa pemecatan dari dinas militer. Pemecatan ini biasanya diputuskan melalui proses hukum internal di lingkungan militer, yang melibatkan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) atau Dewan Kehormatan Militer (DKM), tergantung pada pangkat pelaku.
Kesimpulan
Kasus penembakan tiga anggota polisi oleh oknum TNI di Lampung menyoroti pentingnya penegakan hukum yang transparan dan akuntabel di lingkungan militer. Meskipun peradilan militer memiliki kewenangan untuk mengadili anggota TNI yang melakukan tindak pidana, kerja sama dengan aparat penegak hukum sipil sangat diperlukan untuk memastikan proses hukum berjalan secara adil dan transparan.
Dengan merujuk pada ketentuan dalam UU TNI, UU Peradilan Militer, dan KUHP, penanganan kasus ini harus dilakukan dengan profesionalisme dan integritas, demi menjaga kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia. Kasus di Lampung menjadi momentum penting bagi pemerintah dan institusi militer untuk melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap sistem peradilan militer di Indonesia.