
Oleh: Marini Sari Dewi Seger
Dosen Ilmu Administrasi Publik Undana Kupang - Nusa Tenggara Timur
Dua puluh enam tahun sejak reformasi, Indonesia meyakinkan diri menjalani pemerintahan selanjutnya dengan memperkuat pondasi demokrasi yang dimiliki.
Otonomi daerah merupakan salah satu konsekuensi dari perjuangan reformasi dengan harapan pembangunan tidak hanya terpusat di Pulau Jawa tetapi juga menjangkau daerah-daerah di luar Jawa.
Perjalanan otonomi daerah tentu tidak mudah seperti layaknya kehidupan, ada suka dan duka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pesta demokrasi hampir satu dekade belakangan ini dihiasi oleh hasil otonomi daerah.
Jokowi dan Gibran adalah hasil dari otonomi daerah, dan memang otonomi daerah merupakan wadah pendidikan politik terbaik jika ingin berkiprah di tingkat nasional.
Namun, dalam tulisan ini kita tidak ingin membicarakan pemimpin hasil otonomi daerah, namun kita akan sama-sama merefleksikan kembali impian otonomi daerah yang kita idam-idamkan.
Harapan otonomi daerah adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik yang semakin baik dalam kehidupan berdemokrasi.
Sebagaimana dalam keluarga, orang tua mendidik anak-anaknya agar bisa mandiri mencari jalan kesuksesan. Namun dalam penyelenggaraan otonomi daerah, tidak semulus itu membiarkan daerah mengurus sendiri rumah tangga mereka.
Dalam Laporan BPS tahun 2025 hanya ada 4 provinsi yang bisa dikatakan mandiri, yakni Banten, Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah atau sebanyak 30 persen.
Sebanyak 70 persen provinsi termasuk Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) termasuk dalam daftar Merah ketergantungan tinggi pada dana pusat alias memiliki kapasitas fiskal yang rendah.
Kemudian sampai ulang tahun otonomi daerah keberapa NTT terlepas dari Dana Pusat?
Mempersoalkan pemberian otonomi tampak pula tarik-menarik antara pusat dan daerah, tampak setengah hati.
Di satu sisi pusat setengah hati memberikan otonomi kepada daerah, sementara daerah menjadi tergantung pada pusat.
Sesungguhnya terdapat pembagian urusan dalam Undang-Undang Otonomi Daerah yang sudah jelas antara urusan pusat dan daerah, namun dalam pelaksanaannya, dominasi pusat (resentralisasi atau deotonomi daerah) kembali menghantui urusan tersebut dengan alasan kapasitas kelembagaan daerah belum memadai.
Parameter Otonomi Daerah di NTT
Parameter pengukuran otonomi daerah dapat dilihat dari kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, dan demokrasi yang seharusnya perlu disadari, diukur, dan ditimbang selama 26 tahun otonomi daerah.
Mari kita lihat angka kemiskinan, data BPS menyebutkan angka kemiskinan mencapai 24,06 juta jiwa penduduk dengan tingkat kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN) sebesar Rp 595.243 per kapita per bulan (Kompas.id, 13 Juni 2025), dan Provinsi NTT termasuk dalam provinsi termiskin di posisi ke-3 (BPS, 2025).
Bahkan hal ini menyebabkan dana yang mengalir dari pusat ke NTT terus meningkat dan menimbulkan efek ketergantungan fiskal.
Dana fiskal hasil otonomi daerah belum mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat Provinsi NTT meskipun dana tersebut terus meningkat setiap tahun.
Dalam aspek pelayanan publik, secara perlahan semua daerah ditarik kembali menjadi urusan pusat akibat sumber daya manusia di daerah yang belum mumpuni, pengelolaan birokrasi berbasis entitas lokal dan cenderung subjektif.
Lalu bagaimana dengan Aspek demokrasi, laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) 2025 tentang Indeks Demokrasi 2024, Indeks Demokrasi Indonesia mencapai skor 6,44 dari skala tertinggi 10 dan Provinsi NTT berada dalam kategori sedang dalam Indeks Demokrasi Indonesia.
Dengan skor tersebut, secara keseluruhan demokrasi Indonesia berada dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy).
Hal ini tidak terlepas dari tingkat kemiskinan yang juga tinggi, akan sulit menghasilkan pemilu berkualitas.
Penulis mengutip apa yang dikatakan oleh Dahl dalam Polyarchy, Participation and Opposition bahwa sumber daya politik di tangan orang-orang kaya mengurangi partisipasi rakyat miskin serta menciptakan frustrasi sosial yang merusak legitimasi demokrasi.
Realitas parameter ini menjadi antitesis dari impian otonomi daerah. Riset dari Semeru Institute menunjukkan bahwa anak yang lahir dalam kemiskinan hingga dewasa akan tetap terjebak dalam kemiskinan alias tidak memiliki peluang untuk mencapai kesejahteraan.
Tentu kita tidak ingin melihat otonomi daerah justru membuat penduduk Provinsi NTT semakin miskin di setiap ulang tahunnya.
Evaluasi otonomi daerah
Bonus daerah otonomi memang menggiurkan selain tujuan mulianya, bahkan pengajuan proposal pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) berkembang pesat (Kompas.id, 28 Mei 2025).
Di NTT isu pemekaran wilayah menguat dari berbagai platform informasi, penulis menemukan ada 6 DOB hasil pemekaran yakni Provinsi Kepulauan Flores, Provinsi Manggarai Raya, Provinsi Kepulauan Lembata Alor, Provinsi Sumba-Sabu Raijua, Provinsi Timor Barat, dan Provinsi Kupang Raya.
Calon DOB ini merasa yakin bahwa dengan adanya pemekaran otonomi daerah, pelayanan dan pembangunan lebih mampu mendekatkan diri kepada masyarakat, yang pada akhirnya dapat mengurangi kemiskinan.
Namun jika kita melihat data kemiskinan, kualitas pelayanan publik, serta demokrasi di atas, terasa seperti tertampar oleh realitas 26 tahun otonomi yang telah berjalan.
Evaluasi menyeluruh terhadap perjalanan otonomi daerah selama lebih dari dua dekade ini menjadi kunci penting, alih-alih melakukan pemekaran di mana-mana.
Perlu penerapan sanksi terhadap daerah yang gagal menurunkan angka kemiskinannya.
Evaluasi otonomi daerah perlu dilakukan secara represif, dalam arti harus ada ketegasan target penurunan angka kemiskinan bagi tiap daerah otonom.
Tentu saja perlu ada target dan sanksi yang tegas diberikan kepada pemimpin daerah bila target tersebut tidak tercapai; jika diperlukan, dapat dilakukan penggabungan bahkan pencabutan otonominya bagi daerah yang gagal mencapai target.
Evaluasi dan sanksi ini membuat daerah berpikir ulang untuk mengajukan pemekaran baru dan mulai menyadari bahwa pemekaran bukan hanya sekadar membagi kue kekuasaan di daerah, tetapi juga merupakan amanah, titipan mimpi-mimpi otonomi daerah itu sendiri.
Evaluasi pada tahap perencanaan juga perlu dilakukan terhadap calon DOB, misalnya dengan tidak langsung memberikan izin otonomi tetapi dilakukan peninjauan sementara dalam status wilayah administratif daerah tersebut dengan jangka waktu tertentu, sehingga daerah tidak langsung mengelola daerahnya tanpa adanya kesiapan fiskal, sumber daya dan birokrasi, tetapi daerah juga berusaha memantaskan diri sebelum menjadi daerah otonom baru.
Namun lebih dari itu, penulis menilai bahwa perlu memperketat moratorium izin pemekaran daerah mengingat tingkat kemiskinan yang belum selesai.
Masalah aspirasi daerah memerlukan komitmen dari pemerintah pusat untuk memberikan ruang bagi daerah dalam menyuarakan kebutuhan pembangunan dan pelayanan publik yang diinginkan.
Dalam hal ini, pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat dan transparansi dalam mengawal tuntutan pembangunan yang berbasis masyarakat (community development based) dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang telah ada, alih-alih memberikan pemekaran otonomi daerah baru atau melakukan resentralisasi. (*)
Ikuti terus berita di Google Berita