Dalam sistem hukum pidana Indonesia, dikenal adanya pembagian delik menjadi dua kategori utama, yaitu delik aduan dan delik biasa. Pembagian ini penting untuk memahami kapan suatu kasus pidana dapat diproses oleh aparat penegak hukum, khususnya dalam konteks perlu atau tidaknya laporan dari korban. Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai perbedaan antara keduanya, serta memberikan pemahaman tentang situasi di mana kasus dapat diproses tanpa laporan korban.
1. Delik Aduan
Delik aduan adalah jenis tindak pidana yang hanya bisa diproses oleh aparat penegak hukum apabila ada pengaduan atau laporan dari pihak yang dirugikan atau korban. Dalam delik ini, tindakan hukum tidak dapat dilakukan secara otomatis oleh negara tanpa adanya inisiatif dari korban untuk melapor.
Contoh delik aduan meliputi:
Pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP)
Pencemaran nama baik terjadi ketika seseorang merusak reputasi orang lain dengan menyebarkan informasi yang merugikan, baik secara lisan maupun tertulis. Dalam konteks ini, korban harus secara aktif melaporkan kejadian tersebut agar proses hukum dapat berjalan. Contohnya adalah ketika seseorang menuduh orang lain melakukan tindakan kriminal tanpa bukti yang jelas melalui media sosial.
Perzinahan (Pasal 284 KUHP)
Perzinahan adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh seseorang yang sudah menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Proses hukum terhadap perbuatan ini hanya dapat berjalan apabila pasangan yang sah dari pelaku melaporkan tindakan tersebut kepada pihak berwajib. Misalnya, seorang suami yang memergoki istrinya berselingkuh dan melaporkannya ke polisi.
Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP)
Penghinaan ringan merujuk pada tindakan menghina seseorang secara langsung di depan umum, misalnya dengan kata-kata kasar atau gestur yang merendahkan. Kasus ini baru bisa diproses secara hukum apabila pihak yang merasa dihina melaporkannya kepada pihak berwenang. Contohnya adalah ketika seseorang memaki-maki orang lain di tempat umum hingga menyebabkan rasa malu dan harga diri yang tercoreng.
Contoh kasus: Seorang individu merasa namanya dicemarkan karena tuduhan yang tidak benar disebarluaskan melalui media sosial. Dalam kasus ini, aparat penegak hukum hanya dapat memproses perkara tersebut jika korban melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib.
Alasan adanya delik aduan biasanya berkaitan dengan sifat pelanggaran yang dianggap sebagai ranah pribadi atau yang menimbulkan dampak langsung pada individu tertentu. Dengan demikian, negara menghormati hak individu untuk menentukan apakah ingin membawa perkara tersebut ke ranah hukum atau menyelesaikannya secara pribadi.
2. Delik Biasa
Sebaliknya, delik biasa adalah tindak pidana yang dapat diproses secara otomatis oleh penegak hukum tanpa memerlukan adanya laporan atau pengaduan dari korban. Dalam hal ini, negara berkepentingan untuk menindak pelanggaran hukum demi menjaga ketertiban dan keadilan sosial.
Contoh delik biasa meliputi:
Pembunuhan (Pasal 338 KUHP)
Pembunuhan adalah tindakan menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja. Dalam kasus ini, aparat penegak hukum wajib memproses perkara tersebut begitu mengetahui adanya peristiwa pembunuhan, tanpa perlu menunggu laporan dari keluarga korban. Misalnya, ketika polisi menemukan mayat dengan tanda-tanda kekerasan, mereka akan langsung melakukan penyelidikan untuk menemukan pelaku.
Pencurian (Pasal 362 KUHP)
Pencurian merujuk pada tindakan mengambil barang milik orang lain secara melawan hukum dengan maksud untuk dimiliki. Begitu aparat kepolisian mengetahui adanya kasus pencurian, mereka berhak melakukan penyelidikan dan penangkapan, meskipun korban tidak membuat laporan. Contohnya, ketika seseorang tertangkap basah mencuri di pusat perbelanjaan dan diamankan oleh petugas keamanan, polisi akan memproses kasus tersebut tanpa perlu menunggu laporan dari pemilik barang.
Penganiayaan berat (Pasal 351 ayat 2 dan 3 KUHP)
Penganiayaan berat adalah tindakan yang menyebabkan luka serius atau kematian pada korban. Aparat penegak hukum akan segera menangani kasus ini tanpa perlu adanya laporan dari korban atau keluarganya. Misalnya, dalam kasus perkelahian yang menyebabkan seseorang mengalami luka parah hingga harus dirawat di rumah sakit, polisi akan langsung melakukan penyelidikan untuk menangkap pelaku.
Contoh kasus: Seorang pelaku tertangkap basah mencuri sepeda motor di tempat parkir pusat perbelanjaan. Meskipun pemilik kendaraan tidak langsung melaporkan kejadian tersebut, aparat kepolisian tetap berwenang untuk memproses kasus tersebut tanpa perlu menunggu laporan dari korban.
Pada delik biasa, penegakan hukum dilakukan untuk melindungi kepentingan umum dan memastikan bahwa pelaku kejahatan mendapatkan sanksi yang setimpal meskipun korban tidak melapor.
Kapan Sebuah Kasus Bisa Diproses Tanpa Laporan Korban?
Kasus dapat diproses tanpa laporan korban apabila masuk dalam kategori delik biasa. Dalam konteks ini, begitu aparat penegak hukum mendapatkan informasi tentang terjadinya tindak pidana, mereka berwenang untuk memulai proses penyelidikan dan penuntutan. Misalnya, dalam kasus pembunuhan atau pencurian, aparat kepolisian tidak memerlukan laporan korban untuk memulai penyidikan.
Sebaliknya, dalam kasus delik aduan, proses hukum baru dapat berjalan apabila korban secara aktif melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwenang. Tanpa adanya laporan, proses hukum tidak akan berjalan.
Kesimpulan
Memahami perbedaan antara delik aduan dan delik biasa sangat penting untuk mengetahui hak dan kewajiban dalam menghadapi suatu tindak pidana. Delik aduan menempatkan keputusan di tangan korban untuk melanjutkan proses hukum, sedangkan delik biasa memberi kewenangan kepada negara untuk bertindak secara otomatis demi menegakkan keadilan dan ketertiban.
Dengan pemahaman ini, diharapkan masyarakat dapat lebih sadar akan hak-haknya dalam proses hukum dan turut serta dalam mendukung upaya penegakan hukum yang adil dan transparan.