Lingkungan hidup adalah hak dasar yang dilindungi konstitusi. Namun dalam praktiknya, eksploitasi alam dan lemahnya penegakan hukum seringkali membuat perlindungan lingkungan sekadar formalitas. Artikel ini mengulas perkembangan regulasi lingkungan di Indonesia, disertai contoh kasus nyata dan kebijakan terkini yang menggambarkan tantangan serta arah perbaikannya.
Dasar Hukum Perlindungan Lingkungan
Kerangka hukum utama yang menjadi landasan bagi perlindungan lingkungan hidup di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). UU ini menggantikan UU No. 23 Tahun 1997 dan hadir sebagai respons terhadap krisis ekologis yang semakin meluas, sekaligus memenuhi amanat konstitusi, khususnya Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
1. Prinsip “Polluter Pays”
UU PPLH memperkenalkan secara tegas prinsip polluter pays yang mewajibkan setiap pihak yang mencemari lingkungan untuk menanggung biaya pemulihan. Ini adalah bentuk keadilan ekologis yang menolak subsidi negara terhadap perusakan lingkungan oleh korporasi atau individu.
Namun, dalam praktiknya prinsip ini kerap mandul karena keterbatasan kapasitas penegak hukum, proses pembuktian yang kompleks, dan lemahnya komitmen politik dalam menindak pelaku usaha besar. Banyak kasus pencemaran berakhir pada sanksi administratif ringan, bukan pidana atau ganti rugi lingkungan.
2. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)
UU PPLH juga menganut prinsip strict liability, di mana pelaku usaha dapat dimintai pertanggungjawaban tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Ini sangat penting dalam konteks kebakaran hutan, tumpahan limbah, dan pencemaran air atau udara.
Namun, dalam implementasinya, prinsip ini sering diabaikan dalam proses litigasi karena dominasi pendekatan pidana konvensional yang tetap menuntut bukti kesengajaan atau kelalaian. Akibatnya, banyak perusahaan besar bisa lolos dari jerat hukum meski kerusakan ekologis sudah nyata.
3. Hak dan Partisipasi Masyarakat
UU PPLH menjamin hak masyarakat untuk:
-
Mendapatkan informasi lingkungan,
-
Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan lingkungan,
-
Mengajukan gugatan dalam hal terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan.
Ini adalah terobosan penting karena memberikan legitimasi hukum kepada gerakan masyarakat sipil dalam memperjuangkan keadilan lingkungan. Mekanisme seperti Public Hearing dalam AMDAL dan Citizen Lawsuit seharusnya menjadi alat kontrol terhadap kebijakan dan kegiatan usaha yang berdampak besar pada lingkungan.
Namun, partisipasi publik seringkali bersifat simbolik atau bahkan ditiadakan, terutama dalam proyek strategis nasional. Masukan masyarakat diabaikan, dan proses AMDAL disederhanakan demi percepatan investasi.
4. Kelembagaan dan Penegakan Hukum
UU PPLH mengamanatkan pembentukan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) lingkungan, penguatan peran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta keterlibatan pemerintah daerah. Namun, lemahnya koordinasi antar-lembaga, minimnya sumber daya, dan tumpang tindih kewenangan membuat penegakan hukum lingkungan jauh dari efektif.
Lemahnya sistem sanksi administratif dan lambannya proses hukum menyebabkan efek jera bagi pelaku pencemaran tidak tercapai. Bahkan, beberapa pelanggar tetap mendapat fasilitas perizinan dan kemudahan usaha.
UU PPLH memang progresif dalam rumusan norma, tetapi stagnan dalam praktik. Dibutuhkan penguatan kelembagaan, reformasi penegakan hukum lingkungan, serta perlindungan bagi pembela lingkungan (environmental defenders) yang kerap diintimidasi saat memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Kasus-kasus Lingkungan yang Menonjol
Permasalahan lingkungan di Indonesia bukan lagi sekadar isu lokal, melainkan telah menjadi krisis nasional yang berulang dan sistemik. Di bawah ini adalah beberapa kasus lingkungan yang paling menonjol, yang tidak hanya mengancam ekosistem tetapi juga mencerminkan lemahnya komitmen negara dalam menjalankan prinsip perlindungan hukum terhadap lingkungan.
1. Kasus Karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan)
Setiap tahun, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) terus membara di wilayah Kalimantan dan Sumatera. Penyebabnya bukan sekadar faktor alam, tetapi mayoritas adalah pembukaan lahan secara ilegal oleh perusahaan perkebunan—khususnya sawit dan HTI—dengan metode pembakaran.
Meskipun pemerintah telah menetapkan status darurat bencana dan membentuk tim satgas Karhutla, penegakan hukum terhadap korporasi pelaku utama sangat lemah. Banyak perusahaan yang akhirnya hanya dikenai sanksi administratif seperti pencabutan izin yang bersifat sementara, tanpa proses pidana atau perdata yang tegas. Bahkan dalam beberapa kasus, perusahaan yang terbukti membakar hutan tetap beroperasi dengan lancar.
Putusan Mahkamah Agung terhadap beberapa perusahaan pembakar hutan yang diganjar denda triliunan rupiah juga jarang terealisasi. Ini menunjukkan adanya jurang lebar antara hukum di atas kertas dan pelaksanaannya.
2. Tambang di Wadas dan Gunung Kendeng
Kasus Wadas di Purworejo dan Gunung Kendeng di Jawa Tengah adalah cermin nyata konflik antara pembangunan infrastruktur dan hak atas lingkungan yang sehat bagi masyarakat.
Warga Desa Wadas menolak rencana penambangan batu andesit yang digunakan sebagai bahan pembangunan Bendungan Bener. Penolakan ini bukan tanpa dasar: warga menilai proyek tersebut tidak melalui proses AMDAL yang inklusif dan sarat intimidasi. Bahkan aparat keamanan diturunkan dalam jumlah besar untuk mengamankan proses pengukuran lahan, yang menimbulkan trauma sosial.
Demikian pula di Gunung Kendeng, masyarakat yang tergabung dalam “Sedulur Sikep” melakukan perlawanan terhadap rencana pembangunan pabrik semen. Mereka menilai penambangan di kawasan karst akan merusak tata air dan mengancam sumber mata air utama. Aksi ikonik mereka adalah mengecor kaki di depan Istana Negara sebagai simbol protes atas perusakan lingkungan.
Kasus-kasus ini memperlihatkan bagaimana hak masyarakat adat dan lokal sering dikorbankan atas nama pembangunan yang tidak berpihak pada keadilan ekologis.
3. Kebocoran Limbah Industri di Kawasan Padat
Kawasan industri di Jawa Barat seperti Citarum, Bekasi, dan Karawang menjadi lokasi rutin terjadinya pencemaran lingkungan, khususnya pencemaran air oleh limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) dari pabrik tekstil, logam, dan kimia.
Sungai Citarum, misalnya, pernah dinobatkan sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia. Meski ada program revitalisasi dan normalisasi, praktik pembuangan limbah secara ilegal masih marak, menunjukkan lemahnya pengawasan dari otoritas terkait.
Selain mencemari air, limbah industri juga berdampak pada kesehatan masyarakat, seperti gangguan pernapasan, penyakit kulit, hingga gangguan reproduksi. Lebih parah lagi, masyarakat sekitar seringkali tidak mendapatkan informasi yang transparan tentang risiko limbah ini.
Kasus-kasus di atas menegaskan bahwa tantangan terbesar bukan pada kekosongan hukum, melainkan pada kemauan politik untuk menegakkan hukum lingkungan secara adil dan berani terhadap pelaku yang punya kuasa ekonomi dan politik. Tanpa reformasi penegakan hukum dan perlindungan terhadap pembela lingkungan, kasus-kasus serupa akan terus berulang dan menciptakan krisis sosial-ekologis berkepanjangan.
Kebijakan Lingkungan Kontemporer
Dalam dekade terakhir, kebijakan lingkungan hidup di Indonesia mengalami dua kutub yang kontras: di satu sisi terdapat upaya akseleratif menuju keberlanjutan, namun di sisi lain muncul regulasi-regulasi yang justru dipandang sebagai regresif atau bahkan antitesis dari perlindungan lingkungan itu sendiri.
🧱 UU Cipta Kerja: Proyek Reformasi atau Deregulasi?
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) menjadi titik kritis utama dalam diskursus hukum lingkungan. UU ini secara eksplisit merevisi banyak pasal dalam UU PPLH No. 32 Tahun 2009, antara lain:
-
Menghapus kewajiban Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi usaha kecil-menengah tertentu.
-
Mengubah izin lingkungan menjadi persyaratan administratif biasa, tidak lagi sebagai instrumen pengawasan ketat.
-
Menghapus hak partisipasi masyarakat dalam banyak tahapan perizinan lingkungan.
Hal ini memicu kekhawatiran bahwa pengusaha semakin dimudahkan tanpa kontrol memadai, dan rakyat kehilangan ruang untuk mengawal proyek-proyek yang berdampak ekologis.
Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 bahkan menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, menandakan ada ketidakteraturan dalam proses legislasi yang berdampak langsung terhadap hak lingkungan.
⚡ Perpres No. 112 Tahun 2022: Dorongan untuk Energi Bersih
Sebagai respon terhadap krisis iklim global dan kebutuhan energi domestik yang terus meningkat, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan.
Kebijakan ini menargetkan:
-
Pembangunan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dalam skala besar.
-
Penghentian bertahap PLTU batubara, meski realisasinya masih dipertanyakan.
-
Harga jual energi terbarukan yang lebih kompetitif bagi pengembang swasta.
Meski ambisius di atas kertas, penerapan di lapangan menghadapi tantangan: minimnya insentif fiskal, konflik lahan, serta ketimpangan distribusi teknologi dan SDM.
🌍 Peta Jalan Net-Zero Emission 2060
Indonesia telah menyatakan komitmen untuk mencapai Net-Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Dalam dokumen resmi yang disampaikan ke UNFCCC, Indonesia menargetkan:
-
Pengurangan emisi dari sektor energi dan kehutanan.
-
Rehabilitasi hutan mangrove dan peningkatan luas kawasan konservasi.
-
Transisi ke kendaraan listrik dan industri hijau.
Namun, banyak pihak menilai peta jalan ini masih bersifat normatif dan belum operasional. Ketiadaan target jangka menengah yang terukur, dan tidak jelasnya sanksi terhadap pelanggaran emisi, menjadi kritik utama dari kalangan ilmuwan dan aktivis lingkungan.
🛰️ Penegakan Hukum Berbasis Teknologi
Inovasi penting dalam kebijakan lingkungan kontemporer adalah penggunaan teknologi pengawasan berbasis satelit, seperti:
-
Sistem deteksi dini Karhutla melalui citra satelit (LAPAN, BMKG)
-
Pemantauan kualitas udara dan air secara digital (sensor IoT)
-
Sistem pelaporan publik berbasis aplikasi (SP4N-LAPOR, QLUE, dll.)
Namun, efektivitas sistem ini seringkali terbentur pada dua hal: kurangnya kapasitas institusi untuk menindaklanjuti temuan, serta minimnya akses data bagi publik untuk ikut mengawasi. Tanpa transparansi, teknologi hanyalah alat tanpa kontrol sosial.
⚖️ Kritik dan Rekomendasi
-
Kurangnya pengawasan independen: Banyak kebijakan masih didesain top-down tanpa partisipasi komunitas terdampak.
-
Data yang tertutup: Informasi lingkungan, termasuk AMDAL dan inventarisasi polusi, jarang dipublikasikan secara terbuka.
-
Keterlibatan masyarakat sipil lemah: Ruang partisipasi dalam penyusunan kebijakan menyempit sejak disahkannya UU Cipta Kerja.
Kebijakan lingkungan kontemporer di Indonesia ibarat dua sisi mata uang: ada progres yang patut diapresiasi, namun juga regresi yang berpotensi merusak tatanan ekologi dan hak warga negara. Perlindungan hukum terhadap lingkungan tidak cukup jika tidak dibarengi dengan akuntabilitas, inklusivitas, dan keberanian politik untuk menegakkan hukum secara konsisten.
Tantangan dan Arah Perbaikan
⚖️ Politik Hukum yang Inkonsekuen
Salah satu persoalan paling mendasar dalam perlindungan lingkungan di Indonesia adalah inkonsistensi antara regulasi lingkungan dan arah kebijakan ekonomi nasional. Sering kali, pemerintah mendorong proyek-proyek pembangunan berskala besar — seperti pertambangan, food estate, dan infrastruktur — yang justru bertabrakan dengan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan.
Contohnya adalah konflik antara tujuan menekan emisi karbon dan tetap agresifnya pemberian izin tambang batu bara. Di sisi lain, undang-undang yang seharusnya progresif justru dimandulkan melalui peraturan teknis yang mengendurkan standar lingkungan.
Solusi: Diperlukan reformasi politik hukum secara menyeluruh, termasuk penyelarasan antara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan komitmen iklim dan keberlanjutan lingkungan, serta pembentukan Environmental Policy Audit Body yang bersifat independen.
🪓 Lemahnya Penegakan Hukum
Ketiadaan efek jera dalam pelanggaran hukum lingkungan telah menjadi rahasia umum. Banyak pelaku kejahatan lingkungan, terutama korporasi besar, hanya dikenai sanksi administratif atau denda ringan — bahkan sering lolos dari jerat pidana.
Masalahnya tidak berhenti di situ: penegak hukum sering tidak memiliki kompetensi teknis dalam perkara lingkungan, dan aparat di lapangan rentan terhadap intervensi politik dan ekonomi.
Solusi:
Diperkuatnya Kejaksaan dan Polri dalam unit khusus lingkungan hidup yang memiliki keahlian lintas bidang (hukum, biologi, ekologi, ekonomi).
Penegakan hukum harus berbasis data digital, transparan, dan memungkinkan pengawasan publik.
Hakim lingkungan perlu disertifikasi khusus sebagaimana hakim niaga atau tipikor.
📢 Minimnya Partisipasi Publik
Partisipasi masyarakat sering kali dianggap sekadar formalitas dalam proses izin lingkungan. Dalam praktiknya, dokumen AMDAL disusun secara tertutup, sosialisasi dilakukan terbatas, dan keberatan masyarakat cenderung diabaikan.
Padahal, UU PPLH secara eksplisit mengakui hak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berdampak terhadap lingkungan hidupnya.
Solusi:
Wajibnya publikasi terbuka seluruh dokumen AMDAL melalui sistem digital nasional.
Pemerintah daerah perlu mendorong forum lingkungan hidup yang bersifat partisipatif.
Mekanisme Citizen Lawsuit (gugatan warga negara) harus diperkuat sebagai kanal hukum untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah atau korporasi.
🚀 Menuju Arah Perbaikan
Perbaikan sistem hukum lingkungan bukan hanya tentang menambah regulasi baru, tapi memastikan bahwa semua elemen — mulai dari legislasi, institusi penegak hukum, hingga partisipasi warga — bekerja secara sinkron dan demokratis. Perlindungan lingkungan yang kuat adalah fondasi keberlanjutan, bukan beban ekonomi.
Baca selengkapnya Dinamika Politik Hukum Pemilu Serentak di Indonesia